Selasa, 20 Desember 2016

OWSTON LOVE STORY - Chapter 3 #FantasyBercerita



CHAPTER 3
Keluarga Baru


Genre: Romance-teen, Fantasy, Magic, School life
Sumber Gambar: Maaf admin lupa dari mana gambar ini, tapi yang pasti ini punya orang
 


“Ma! Pa! Cha, i’m home!” Vigo berteriak begitu kencang seakan dirumah itu semua orang tuli, tapi itu menjadi gaya khasnya yang tak bisa dihilangkan. “Nggak tahu apa Igo yang ganteng ini sudah dirumah.”
Vigo masih sibuk berteriak, saat Luna terus memandangi rumah Vigo yang begitu besar. Mulutnya tak percaya dengan apa yang dia lihat, rumah itu mirip seperti yang ada dilukisan yang diberikan ibunya dulu. Dengan tangga yang tinggi, lantai bening, dan lampu besar yang menggantung. Sungguh wah.
“Ngapain sih loe plonga-plongo kayak gitu?”
“Rumah kamu bagus, kayak...” Luna tak melanjutkan omongannya, dia menutup mulutnya dengan tangan. Enggak mungkin dia mengatakan apa yang diingatnya pada Vigo.
“Kayak apa?”
“Kayak istana.”
“Udah deh gak usah halu. Cepet bawa barang gue kekamar dilantai atas, sebelah kiri deket pintu balkon.”
Luna mengangguk, lalu meneteng tas milik Vigo yang entah kenapa terasa begitu berat, padahal isinya hanya dua lembar baju, dua setel celana, sepasang sepatu dan sebagainya. Enggak berat bukan? Berat!
Tapi, belum sempat dia melangkahkan kakinya lagi. Mama dan papa Vigo datang menyambut keduanya. Senyum manis bertumpu dibibir sepasang suami istri yang mulai masuk kepala empat itu.
“Igo, kapan kamu datang, nak? Loh kok Luna yang suruh bawa tasmu,”
“Dia pembantu kita kan, Ma?”
“Pembantu? Enggak, Mama suruh dia kesini untuk mengawasi kamu, dan Mama sama Papa sudah buat kesepakatan kalau Luna juga bakalan sekolah sama kamu juga Chaca.”
“Mama ini ada-ada aja. Jangan bercanda deh, Igo baru sampe nih.” Vigo sebenarnya sedikit merajut dengan omongan yang mama, tapi ia berpikir positif bahwa itu hanya guyonan.
“Serius, Mama nggak bercanda. Dan... kamu tahu, Mama sudah menyiapkan akta lahir Luna.”
“Akta lahir?” tanya Vigo mengulang.
Tidak. Sudah terlalu jauh dari pikirannya, tidak mungkinkan dia harus tinggal dan sekolah dengan cewek dekil itu, bahkan sekarang Mamanya sudah menyiapkan akta lahirnya. Dunia bebasnya bakalan hancur seketika. Mamanya akan menjadikan Luna sebagai Bodyguard yang setiap saat mengintainya.
“Iya. Tada..!!” sang Mama menunjukkan akta palsu yang berisi tanggal lahir, tempat lahir, dan nama ayah. Apa?! Ayah Luna juga ayahnya, berati di akta itu Luna adik Vigo. Tidak!
“Mama sama Papa ini aneh. Igo nggak mau!”
“Sudah terlambat.”
Vigo sudah tak habis pikir dengan orang tuanya. Bagaimana mungkin mereka bisa melakukan hal sekonyol itu untuk menampung Luna yang tak tahu dari mana. Bahkan mereka sudah menganggap Luna sebagai anaknya sendiri.
Sumpah Vigo sudah kehabisan akal dengan semua ini. Semua rencananya bakalan hancur gara-gara cewek itu.
“Sudahlah mungkin Igo masih sakit makanya mimpi ngawur. Ayo Lun, bawa tas gue kekamar.”
“Igo kamu jangan nyuruh Luna!”
Teriakan sang Mama tak didengar Vigo, ia masih berpikir bahwa semua itu halusinasinya.
%%%
Malam semakin melarut, saat bintang bertebaran dilangit. Luna masih duduk ditaman belakang rumah dengan pikiran yang mengambang. Padahal beberapa hari lalu dia sibuk mencari jalan keluar dari hutan, dan setelah dia keluar semaunya menjadi hal yang aneh. Dia malah terjebak didunia manusia, tinggal dirumah manusia, tanpa tahu apa yang harus dia lakukan.
“Loe mikirin apa?” suara Vigo dari belakang membuyarkan lamunan Luna.
Dengan langkah berat karena kakinya yang sempat terkilir harus ia angkat sedikit dan memperlambat langkahnya.
“Enggak. Aku nggak mikirin apa-apa kok.”
“Masa? Gak mungkin loe diam aja kalau gak mikirin sesuatu.”
Luna menarik nafas panjang lalu membuangnya lagi seperti ingin menceritakan sesuatu, tapi tidak. Dia malah hanya tersenyum sambil tetap diam.
“Kata Mama, gue ini anak bandel. Kerjanya keluyuran, main sampai gak tahu waktu.” Lanjut Vigo sambil bercerita pada Luna.
“Memang apa yang kamu lakukan sampai ibu kamu bilang begitu?”
“Nggak ada sih. Ya biasalah kelakuan remaja.”
“Remaja?”
“Loe sendiri, orang tua loe dimana? Maksud gue, apa loe bener-bener lupa semuanya.”
Luna berpikir sejenak, saat ini dia nggak harus bohong pada Vigo untuk menyembunyikan semuanya dari Vigo, karena memang dia nggak tahu dimana orang tuanya.
“Aku nggak tahu dimana orang tuaku, tapi yang sedikit aku ingat ayah sudah meninggal. Sepertinya.”
“Kasihan juga ya loe.”
Dikasihani Vigo, tiba-tiba saja Luna tertawa kencang seakan-akan nggak ada yang terjadi tadi. Semuanya seketika hilang, bahkan Vigo sendiri sampai mengangkat bibir kirinya keatas. Gadis aneh, bisa-bisanya dia tertawa begitu semangat dalam keadaan galau begini.
“Kok loe ketawa?”
“Soalnya kamu aneh.”
“Aneh apanya?”
“Aku saja biasa, kok kamu bingung mikir.”
Vigo benar-benar hanya bisa menggeleng-geleng kepala sendiri. Dia bukan hanya aneh, tapi seperti robot yang tak punya perasaan sedih.
Keduanya mulai sama-sama menatap langit. Satu, dua, tiga, bintang nampak indah dan semuanya biasa, tapi ada satu bintang yang bercahaya seperti kebiruan. Mereka berteriak bersama. “Bintang itu kan...!”
Mereka nampak canggung dengan hanya memalingkan wajah masing-masing, entah ada yang sedang mereka pikirkan. Seperti yang sedang dipikirkan Vigo, Luna mulai menarik dunianya yang brutal dengan tingkah konyolnya. Perasaan itu sudah ia rasakan sejak dirumah sakit, perasaan yang dirasakan setiap cowok permen karet.
“Eh Lun,” ujar Vigo kemudian memecahkan keheningan.
“Ehm,”
“Besok kan loe mulai sekolah, loe harus bisa beradabtasi dengan lingkungan baru loe.”
“Adabtasi?”
“Iya. Loe harus menyesuaikan semunya, kayak bahasa sama pergaulan. Semua orangkan tahunya loe adik gue jadi bahasa loe juga harus kayak gue.”
“Misalnya?”
“Loe harus ganti kamu, sama loe. Coba deh.”
“Elo,” kata Luna sedikit kaku mengucapkan kata itu, yang sebenarnya salah ejaan.
“Bukan elo, tapi loe. L O E.”
Luna mulai bingung dengan bahasa itu. apa bedanya coba? Dia pikir semuanya sama. “Apa bedanya?”
“Bedanya cara pengucapan dan sama penulisan.”
“Tulisan?”
“Loe gak tahu tulisan?”
Luna menggeleng.
“Yaampun, berarti loe gak tahu abjad dong. Kayak A B C D dan teman-temannya?”
Lagi-lagi Luna hanya bisa menggeleng kepala.
“Yaudah gih, nanti gue ajarin sampai bisa. Siapa tahu alzaemar loe bisa berkurang itupun kalau gue gak kolaps duluan.” Vigo lalu tertawa pelan.
Vigo nggak pernah sebahagia ini sebelumnya saat bersama seorang cewek, Luna yang pertama kali melihat Vigo tertawa. Apalagi selama ini yang dilakukannya hanya mempermainkan perasaan cewek, memacarinya lalu meninggalkannya. Semua itu akibat dari persaingannya dengan Angga, ketua club sepak bola yang paling songong menurutnya dan cowok yang paling membencinya seseantero sekolah.
Angga selalu mengajanya bertanding dalam hal apa pun. Entah itu menjadi ketua tim sepak bola, atau memacari Disti yang sekarang malah pacaran sama Rendra si ketua sangga pramuka. Bahkan bukan hanya itu, Angga sejak dulu memang tak menyukainya, semua itu karena kesalahan Ayahnya yang dituduh membunuh Ibu Angga. Hasilnya? Ayah Vigo mendekam dipenjara selama dua tahun dan denda maksimum.
“Sebelumnya gue gak pernah ketawa kayak gini.” Kata Vigo kemudian, sambil berusaha berhenti dari ketawa lirihnya.
“Kenapa? Ketawa kan asyik.”
“Gue juga gak tahu. Soalnya gak ada yang bisa buat gue ketawa.”
“Benarkah? Berarti aku perlu mendapatkan hadiah karena itu.”
“Hadiah buat apa?”
“Karena sudah bisa buat kamu ketawa.”
Vigo berpikir sejenak. Hadiah? Sepertinya kata itu akan dia pertimbangkan untuk beberapa waktu kedepan. Bukankah setiap pekerjaan harus mendapat imbalannya.
“Oke, gini aja. Aku kasih tiga keinginan. Jadi loe boleh minta tiga keinginan apa pun sama gue.”
“Keinginan? Kayak sihir gitu?”
“Ya sejenis itu deh. Sekarang loe mau minta apa?”
“Minta apa ya?” Luna berusaha berpikir keras untuk berpikir, untuk mendapatkan satu jawaban. Tapi, tidak ada. “Sekarang belum ada, nanti aja ya.”
“Okeh, tapi ada syaratnya. Loe gak boleh nyuruh gue cuci baju, nyetrika, cuci piring dan seantek-anteknya. Dan satu lagi, kayak jinnya Aladin gue gak bisa ngasih sesuatu tentang cinta.”
“Cinta, apa itu?”
“Cinta... besok loe tanya Mama atau Chaca aja. Gue juga gak tahu.”
Baru dipertemukan empat hari lima malam mereka sudah nampak akrab, bahkan bisa tertawa. Sedikit demi sedikit Luna mulai melupakan tentang rombongannya, meski dia juga masih mencari cara untuk bisa pulang kesana.
Ditengah obrolan ringan itu, tanpa keduanya sadari sepasang mata menatap tajam dan nampak angkuh. Chaca nggak suka melihat kedekatan mereka, bahkan rasanya perlahan-lahan Luna mengambil Vigo dari sisinya.
Sejak pertama kali melihat Luna, Chaca memang sudah benci, apalagi ditambah Luna pindah rumah dan akan sekolah bersamanya, itu lebih membuatnay benci.
“Lihat aja, gue bakalan ngebongkar kedok loe. Dan gue juga bakalan cari tahu asal usul loe cewek sarap.” Chaca berlalu pergi dari sana.
Sementara itu Luna dan Vigo nggak ada habisnya bercanda, meski bulan nggak lagi menampakkan cahayanya. Yang perlahan ditutup awan hitam.
“Masuk yok, Lun. Dingin banget, kaki gue juga udah pegel.”
“Yuk, aku juga mulai kedinginan.”
Luna membantu Vigo untuk berdiri dan berjalan kedalam rumah.

Sabtu, 19 November 2016

Cerpen boysLove - Kenalan Yuk!



SHARING, BOLEH??

Romantis. Saat mereka berpegangan tangan, saling bertatapan dibarengi dengan sound musik yang disengaja untuk membuat adegan lebih penuh senyum. Aku melihatnya sampai kipas-kipas sendiri. Dari sanalah inspirasiku muncul. Ah apa yang aku ceritakan...
Ini tentang Film dan drama Yaoi/Yuri (Film/Drama Gay dan Lesbi), kalian tahu sebagai seorang cowok remaja akhir aku menyukai menonton drama dan anime, suka baca buku dari sisi kanan (komik) dan suka nulis. Salah satu drama yang aku suka adalah dari Thailand, entah kenapa. Sejak lihat Punpun (baca: PanPan “cewek pastinya”) main di Lada Land, sejak saat itu aku suka Lakorn (sebutan untuk drama Thailand).
Kalian tak perlu menebak apa yang sering aku lihat, ya drama yang bertema BL beterbaran disana. Bahkan dalam setahun bisa dua sampai lima drama jenis yang ditayangkan. Wuih, sebagai penikmat drama menyimpang aku seneng aja, karena Indonesia tak akan menemukan yang seperti itu.
Sebagai cowok normal (eng... yakin??) awalnya aku jijik membayangkan adegan-adegan yang dibuat seolah cinta mereka itu tulus, tapi aku baru tahu bahwa setiap manusia memiliki cinta yang sama. Film lawas seperti Love of siam, Bangkok love story dan lain sebagainya, membuat tanda tanya besar dikepala, apa yang membuat dua laki-laki tampan, kekar dan keren (bilang aja iri) saling jatuh cinta? Aku pasti tak tahu. Bagi para Fujo (sebutan cewek yang suka Yaoi) paling kegirangan sambil ketawa gak jelas. Lah sementara aku yang Fuda (sebutan cowok yang suka Yuri) paling geleng-geleng. Itu dulu. Sekarang...
Love of siam, Home, My bromance, Father & Son, Watherboy, Teacher, Bangkok Love Story, love Cooming 1, Love Cooming 2 : Love Love You, Timeline (yang khusus Yaoi),  Love sick the series 1 & 2, Make it Right the series 1, Sotus the Series, Hormones the series 1, 2, & 3, Bad Romance  the series,  dan plus ada Yes or NO 1 & 2 (Film Yuri) habis sudah kulahap. Aku menyukai semua film dan drama yang mungkin dijauhi para cewek normal yang takut patahi, dan dijauhi cowok normal kayak aku yang takut ikutan jadi Yaoi.
Aku suka lihat akting mereka, aku suka ketika aspirasi dan cara pandang orang Thailand tentang suatu status dimasyarakat dipertanyakan dan aku suka ketika gaya baru dalam drama dipertontonkan. Bukan sampah dengan ratusan episode yang gak kelar-kelar sampai tujuh turunan (karena rating baik katanya) dijejalkan pada masyarakat. Cara para produser dari PH Thailand dibelakang layar berpikir jelas perlu diberi tepuk tangan.
Aku tidak pro atau kontra dengan Film/drama seperti ini, aku mengikuti saja asal itu gak salah. Seni, itu hanya untuk seni, kenapa harus dilarang dan cekal? Toh, diluaran layar kaca mereka memiliki kehidupan normal layaknya pria dan wanita lainnya.
Dan... saking numpuknya film yang aku lihat, makanya Tada...!! aku membuat tulisan bergenre Yaoi dengan Romance-teen yang tak kalah ngegemesin. character yang aku buat sedemikian rupa dengan menambahkan sesuatu yang unik. Judulnya [not]PERFECT BOY’S (Empat Cinta yang Sama).

SELAMAT MEMBACA
#JOMBLOKEKINIAN :p

cerpen boysLove : [not] PERFECT BOY'S - Chapter 1



CHAPTER 1
PROLOGUE


 “Seperti angin winter yang dingin ketika menyentuh kulit. Seperti itulah ketika pertama kali aku mengenalnya. Sikapnya kenapa tak seperti aku dan temannya yang lain? Ada yang salah? Atau itu perlu alasan?”

            Decit suara sepatunya menyentuh lantai lorong sekolah yang terlihat bersih itu, cara berjalannya lambat tapi penuh hentakan. Sesekali ia berhenti untuk memutar ulang rekaman yang sama diha-penya, menggegamnya erat dan memasang earphone dikedua telinganya. Hening. Serasa lorong itu sepi tanpa siapa pun kecuali rekaman dari earphonenya, anak-anak murid yang beterbaran seperti hanya sebuah angin lalu saja baginya.
            Kenapa tak ada sambutan selamat pagi dari seorang kawan? Atau sekedar kata hai dengan sapaan? Jika tidak ia perlu rangkulan leher untuk itu. Tidak akan pernah terjadi. Juli, cowok smart yang dikenal kaku itu akan terus melakukan hal yang sama, hal yang dilakukannya sejak tujuh tahun lalu, dan tak akan pernah berhenti.
            Sifatnya itu terjadi sejak kematian Ibunya karena satu hal, hal yang tak pernah ia tahu dan tak akan pernah mau ia tahu. Papanya pengusaha sibuk yang kerjanya bepergian kesetiap kota demi kota, dan empat tahun lalu sang papa memutuskan untuk menikahi seorang wanita dari keturuan darah biru yang kerjanya hanya mengecat kuku, pergi kesalon untuk lulur dan rumah refleksi.
            Sejak saat itu diputuskannya untuk menutp diri dari semuanya, pulang sekolah, les dan kembali kedalam kerangkeng yang dibuatnya sendiri. Kamar. Ia tak pernah mau diganggu siapa pun saat sedang menikmati kebersamaan dengan buku-buku komik dibarengi lantunan lagu klasik yang lamban. Baginya itulah dunianya. Tanpa teman ataupun keluarga. Ah siapa yang akan peduli dengan dunia membosankan itu.
            Juli masih dilorong, saat ditatapnya jam ditangan kirinya bergerak diangka tujuh lewat lima menit. Berarti masih ada waktu sepuluh menit baginya untuk membaca komik, tapi belum sempat ia membuka tasnya, seseorang dari arah samping kiri menabraknya dengan kencang. Ia terjatuh kelantai dengan bokong lebih dulu. Nyeri.
            “Hey maaf, aku gak sengaja?” kata si penabrak dengan tenang.
            Maaf? Kata itu sepertinya sudah lama ia tak mendengarnya mungkin ada lebih dari bertahun-tahun lalu, biasanya jika murid lain  menyentuh tubuhnya hanya berlalu tak peduli, tapi ini...
            “Hello, kok bengong?” ulangnya lagi, kini dengan tersenyum. Juli tersadar dan langsung bangkit, ia bergegas pergi tanpa berniat melihat sipenabrak tak tahu jalan itu. “Kau mau kemana? Apa kau tak bisa mengucapkan satu kata pun, aku tersesat. Aku tak tahu dimana ruang kepala sekolah. HEY!!”
            Juli benar-benar tak peduli, ia tak berhenti dan menoleh. Ia terus memacu langkahnya semakin kencang. Orang aneh, ia tak pernah mau berkenalan dengan orang-orang seperti itu. mungkin pikirnya.
            Sementara  Juno yang masih disana hanya bisa geleng-geleng, sekolah barunya sangat aneh. ia baru saja melihat orang seperti mayat hidup, apa selanjutnya Vampire atau Werewolf yang tiba-tiba menyerangnya. Merinding.
            Selama ia berpindah sekolah lebih dari tiga kali, ini yang paling menyeramkan. Aura hitam dari luar sudah sangat menakutan, bagaimana mungkin dia beradabtasi dengan baik disini. disini, disekolah yang diminta orang tuanya untuk menjadi yang terakhir kali. Ah mana mungkin dia bisa?!
            Sebelum pindah ke SMA ini, Juno berulang kali berulah dan harus pindah sekolah. Sering tawuran dan mengerjai guru membuatnya langsung saja di keluarkan, tanpa sanksi atau skors lebih dulu. Kenakalan Juno dibarengi dengan kepiawaannya dalam bermusik, memilikir karier musim solo dengan gitar membuat banyak cewek menggandrunginya, lihat saja seandainya mereka sadar, mereka pasti akan berteriak kegirangan melihat Juno Maheswa berada disekolah ini.
            Tapi, lupakan itu sebentar saja, karena ia benar-benar tersesat. Lima menit lagi kelas dimulai, dan ia belum juga menemukan ruang kepala sekolah untuk memberikan rekomendasi surat pindahnya, bahkan ia tak tahu dimana ruangan kelasnya. Adakah yang bisa membantunya saat ini? Saat anak-anak sudah berlarian menuju kelas masing-masing. Ah, ada satu.
            Seorang siswa yang sibuk mengocek ha-penya, sambil sesekali tersenyum sendiri (ekspresi main game).
            “Bro-bro, bisa kau bantu aku?” panggil Juno pada siswa itu.
            “Iya, kenapa?” Siswa dengan nametag Rion D. itu mendekati Juno dengan wajah tersenyumnya.
            “Kau bisa mengantarku keruangan kepala sekolah? Aku baru disini dan tersesat.”
            “Tersesat? Oke, mari aku antarkan kesana.”
            Keduanya berjalan beriringan, sementara mata Juno sibuk melihat-lihat semua yang ada dilorong sekolah itu. ada mading, bangku panjang, pot-pot bunga yang entar kenapa ditaruh didalam rungan, bukannya mereka akan mati (tumbuhan hidrofit), dan sebenarnya ada yang aneh dengan mading, satu poster seorang siswa dengan wajah datar.
            Juno mendekati mading itu dan memadang poster seperti mengingat sesuatu, wajah siswa itukan yang tadi ditabraknya, tanpa mengucapkan satu katapun ia langsung saja pergi. Kenapa fotonya ada disini?
            “Dia Juliandra Galelia, biasa fotonya selalu ada dimading setiap kali menang lomba. Siswa smart.”
            “Bukannya dia mayat hidup ya?”         
            “Mayat hidup, apa maksudmu?”
            “Tadi gak sengaja aku menabraknya dan tiba-tiba saja dia langsung pergi tanpa berucap apa pun.”
            “Oh itu. gak usah dipikiran, kalau sudah lama kamu disini kamu bakalan tahu sifatnya. Dan kamu asrama kan, jangan sampai satu kamar dengannya.”
            Sekamar dengan Juli? Coba pikirkan, sejak pindah keasrama setahun lalu. Dia sering mengunci dikamar seperti yang dilakukannya dirumah, dia sensitif dan cepat marah jika ada teman sekamarnya yang membuat kotor. Maka dari itu anak-anak tak ada yang betah satu kamar dengan Juli.
            “Tidak-tidak. Itu sepertinya menakutkan.” Kata Juno parno. Mana mungkin dia bisa tahan dengan patung berjalan, dia itu sangat agresif dan cerewet, nakal sekaligus membuat onar. Lalu jika satu kamar dengan Juli, bagaimana dia bisa melakukan hal semaunya. Sulit untuk dibayangkan.
            Pikiran itu kemudian hilang, saat dia telah berada didepan ruangan kepala sekolah. Rion menunggu diluar sambil sibuk bermain game.
            Krek..
            Suara tarikan pintu kelas dibuka, seorang siswa dengan senyuman mengambang masuk kedalam kelas saat disadarinya didalam kelas itu ada seorang guru yang sangat dikenalnya. Bu Santi guru bahasa inggris sekaligus Walikelasnya.
            “Vindra, kamu telat lagi?” tanya Bu Santi melihat Siswanya melakukan hal yang sama setiap harinya.
            “Enggak telat kok Bu, anu... itu gerbangnya aja masih dibka. Jadi Vindra gak telat, kan?” ia kembali tersenyum lagi sambil berjalan menuju bangkunya yang dipojok belakang didekat Juli.
            Sementara itu Bu Santi masih ditempat yang sama. Dia tak datang sendiri pagi itu. tapi, bersama seorang siswa baru.
          “Baik semuanya, seperti yang kalian ketahui kalian memiliki teman baru namanya...” ucapan Bu Santi terpotong saat beberapa siswi berteriak kencang.
           “JUNO...!!!”
           “Betul sekali, dia Juno Maheswa artis sosmed yang lagi naik daun itu katanya. Baru pindah dari Bandung dan pastinya akan bersama kalian selama tiga semester kedepan.”
         Saat Bu Santi sibuk memperkenalkan Juno pada teman-temannya, Juno malah melihat kearah Vin yang tersenyum, ah salah. Dia melihat kearah Juli yang sibuk dengan sesuatu yang dibacanya. Mayat hidup itu ternyata satu kelas denganku. Batin Juno.
            Setelah itu Bu Sinta menyuruh Juno untuk duduk dikursinya yang berada didekat jendela kanan kelas yang langsung menghadap kearah taman sekolah. Para siswi yang berada dikelas hampir semuanya tak berkedip melihat artis sosmed itu berjalan. Menggemaskan memang.  Bagi para siswi itu adalah sebuah mimpi, tapi bagi para siswa itu menimbulkan rasa itu. ah siapa yang peduli, lupakan.
Langit mulai mendung saat itu, anak-anak harusnya sudah pulang keasrama mereka masing-masing untuk menyelesaikan banyak tugas yang berserakan. Membersihkan asrama, pasti. mengerjakan PR apalagi, tapi jika hujan belum reda bagaiamana mereka akan pulang.
            Jarak antara sekolah dan asrama memang tak jauh, hanya beberapa menit saja, tapi jika berjalan kaki pasti pakaian mereka akan basah, alhasil mereka hanya menunggu sampai hujan reda. Seperti yang dilakukan Vin, ia sibuk menatap tetesan hujan yang terjatuh setiap milimenitnya.  Menurutnya ia menyukai hujan, karena hujan itu indah. Ia tak pernah mendahuli mendung meski seperti apa pun, sama seperti tangisan yang tak pernah mendahului rasa sakit dan kecewa.
Kata temannya patah hati itu sakit dan bisa membuat orang menangis. Tapi, sejauh ini ia tak pernah patah hati, jangankan patah hati jatuh cinta saja tak pernah. Umur tujuh belas tahun tak pernah jatuh cinta? Memang ada yang sedikit janggal, tapi kejanggalan itu tak pernah dipikirkannya. Teman-teman satu asrama dan satu sekolahnya sering sekali menggodanya dan mengatakan bahwa Vin tak suka perempuan. Siapa yang bilang? Berulang kali ia membuat cewek patah hati, di PHP’IN sampai HTS’an. Tapi, tak satupun dari mereka ada yang nyantol dihatinya dan dijadiin dia pacar.
Hujan semakin deras, ia bingung untuk pulang keasrama. Saat seseorang mulai berdiri didekatnya, seseorang itu mengeluarkan payung lipat dari dalam tasnya, hingga ia sendiri pun sadar siapa yang tengah mematung menunggu hujan berhenti.
“Hey Vin, mau bareng?” tawar laki-laki itu tersenyum, nametagnya bertuliskan Ryu A.
Vin menoleh keasal suara itu, dan ditemukannya seorang laki-laki yang tersenyum. Tubuhnya yang tak begitu tinggi membuat Vin bisa melihat semuanya.
“Boleh. Kok tahu namaku?”
“Masa gak tahu, satu-satunya siswa yang berani nentang si ketua osis dan langganan setiap senin dihukum dilapangan, mana mungkin semua orang gak tahu.”
“Oh iya.”
Vin kemudian berjalan mendekati Ryu yang membawa payung, keduanya lalu berjalan bersama. Tapi, sesekali Vin lebih dekat kearah Ryu karena payung kecil itu tak begitu kuat menampung kedua tubuh remaja itu dan... Ryu menarik tubuh Vin dalam pelukannya, agar Vin benar-benar bisa masuk payung. Vin kaget bukan main, ia tak pernah dilakukan seperti ini pada siapa pun termasuk cowok, ia ingin melepaskan pelukan itu tapi rasanya aneh.
            “Nah ini kamar baru kamu.” Kata Rion menaruh satu tas yang dibawanya dilantai didepan kamar nomor 7. Benar-benar berat tas milik Juno itu, seperti isinya ratusan batu.
            “Jadi ini kamarku? Siapa temen satu kamarku.”
            Rion hanya menarik bibirnya keatas, sambil memainkan alis kirinya. Ada yang dia sembunyikan. “Udah ketuk aja.”
            Tok.tok.tok.
            Juno mengetuk pintu pelan, tapi tak ada sahutan apa pun. Menunggu lama, Rion tak sabar ia menggendor dengan kencang, hingga seseorang berteriak dari dalam.
            “Sabar!” kata seseorang itu, kemudian dilanjutkan dengan suara tarikan pintuk.
            Seorang remaja nampak keluar dari sana, hanya menggunakan kolor pendek tanpa atasan (baca: baju), kulit putih yang bersih tanpa sedikitpun jamur atau panu langsung terekspos, laki-laki jangkung yang sama seperti remaja lainnya.
            “Ada apa, kak?”
            “Nih, aku bawa temen satu kamarmu. Kenalin gih, namanya Juno anak kelas sebelas.”
            “Oh ya, wah temen baru. Kenali kak, aku Angga.” Nyengir. Cowok bernama Angga itu memeperlihatkan rentetan gigi putihnya.
            “Juno Maheswa.”
           “Juno Maheswa? Sebentar...” Angga seakan berpikir sesuatu saat cowok didepannya memperkenalkan dirinya sebagai Juno. “Jadi ini wajah aslinya Juno Maheswa artis sosmed yang lagi heboh di 2016. Astaga mimpi apa aku semalam, bisa satu sekolah, satu asrama, bahkan satu kamar denganmu.”
            Angga benar-benar histeris mengetahui siapa sebenarnya teman satu kamarnya yang baru, biasanya ia hanya melihat dilihat IG, dan sekarang itu menjadi kenyataan. Sementara Juno yang melihat Angga begitu histeris hanya bisa tersenyum seadanya, itu sudah kali ke-5786 orang yang melakukan hal itu saat melihat langsung Juno si ganteng (?)
            “Ayo masuk kak, masuk. Sini aku bawakan tasnya. Dan kak Rion boleh pergi sekarang, bye.” Lanjut Angga sambil membawakan tas milik Juno, lalu berjalan masuk. Sedangkan Juno mengikuti dari belakang, sambil membawa dua tasnya yang berat-berat semua. Itu yang tadi dirasakan Rion. Didalam kamar, Juno melihat semuanya. Kamarnya benar-benar rapi dan tertata, benar-benar bersih tanpa sedikitpun ada debu.
Malam sudah semakin larut rasanya, saat lampu-lampu kamar asrama sudah dimatikan, gerbang pun sudah ditutup sejak pukul delapan. Penghuni asrama yang kesemuanya cowok itu seperti sudah terlelap meski jam masih menunjukkan pukul sepuluh malam. Bagaimana tidak, jika besok mereka kesiangan untuk mengikuti apel pagi, maka siap-siap nama mereka masuk buku paling menakutkan di I.M High School (Buku merah, buku yang mencacat setiap anak terlambat).
            Tapi, tidak baginya. Malam-malam begini ia malah sibuk dengan laptopnya. Ia mendownload sesuatu dari sana. Drama. Pasti, setiap pukul sepuluh malam ia selalu mendownload drama entah Thailand atau Korea, karena jam segitu jaringan Wifi asrama mulai membaik. Drama-drama yang ia download memang masih selalu Ongoing (dramanya masih berlanjut, atau masih tayang ditelevisi setempat), jadi terpaksa ia harus mencarinya setiap hari, meski pun itu tak memiliki subindo.
            Dan kebiasaan itulah yang membuatnya sering telat datang kesekolah, dengan berbagai cara ia harus bisa masuk kedalam kelas. Walau gerbang sudah ditutup, apa boleh buat. Vin, memang memiliki tingkah aneh, sejak masuk SMA ia menyukai drama-drama yang berbau boyslove dan menyebut dirinya Fudanshi (laki-laki yang menyukai drama atau anime Yaoi/Yuri). Ia tak malu mengakuinya, karena ia pikir drama seperti malah cute dan menggemaskan.
            Meskipun ia menyukai yang berbau agak aneh, tapi sampai sekarang ia masih menyukai wanita. Bahkan meski tak memiliki perasaan apa pun pada mereka, ia tetap meladeninya. Dengan teman laki-laki pun sama, ia sering bermain basket, ngobrol bareng dengan mereka, atau melakukan hal yang sejenisnya laki-laki. Dan, tak ada yang paham apa yang dipikirkannya selain dirinya sendiri.
            Tapi, apa perlu sampai sebegitunya. Menurutnya perlu, ah seandainya ia bisa membagi pikirannya pada orang lain agar orang lain juga tahu. Mungkin itu akan lebih menyenangkan lagi. Saat ia masih sibuk dengan laptopnya didekat ranjang, Rion teman satu kamarnya menedang tubuhnya dari belakang dengan kenncang, hingga membuatnya terjungkal dan laptop terjatuh kebawah.
            “Aw,” keluhnya sakit.
            “Kamu ngapain jam segini belum tidur, Vin?” tanya Rion sambil sesekali diselingi nguapan kecil.
            “Aku masih sibuk, download drama.” Jawab Vin santai.
            “Astaga, gila ya kamu. Ini udah hampir jam sebelas. Kalau kamu gak tidur terus besok telat lagi gimana? Besok senin bro.” Rion terus saja nerocos meski matanya terlihat tak kuat untuk terbuka lagi.
            “He.” Vin nyengir sambil menggaruk-garuk kepalanya. “Habis nanggung, Yon. Bentar lagi, satu jam lagi.”
            “Awas ya gak tidur. Lagian itu laptop gak bisa lama-lama entar panas Handwarenya.”
            Laptop itu? ternyata Vin hanya meminjam laptop Rion, karena laptopnya sendiri sedang dalam masa transisi, maksudnya dalam masa perbaikan dibengkel specialis alat elektronik. Semua juga gara-gara sering dia pakai tak tahu waktu.
            “Iya-iya tenang aja, aku tahu diri kok kalau minjam.”
            “Bagus deh kalau loe tahu. Hoam.” Rion menguap lagi, kemudian hening tanpa suara apa pun.
            Vin melanjutkan sibuk dengan laptop pinjamannya, belum sempet ia mencari drama lain, tiba-tiba ha-penya berbunyi dengan kencang membuat kaget. Ah siapa lagi? Batinnya menggerutu.
            Dilihatnya ID si penelphone, ah nomor baru. Dari siapa lagi? Apa salah satu fansnya? (kapan dia punya fans:p).
            “Hallo?” sapa suara berat dari seberang sana. Suara laki-laki. Laki-laki gila mana yang menghubungi malam-malam begini, apa tidak ada kerjaan lain?
            “Hallo, maaf ya mas ini sudah malam, kayaknya salah sambung deh.”
            Tet.
            Vin tiba-tiba saja mematikan sambungan telephone itu tanpa mendengarkan lagi ucapakan seseorang dari ujung gagang ha-penya sana. Ia tak peduli, meski seorang polisi menghubungi untuk mengatakan sesuatu, atau bahkan ternyata ia menang kuis dari salah satu minuman botol (?), karena drama itu lebih penting dari apa pun, dan... semua itu akan terus berlanjut hingga lama.